|

Mujahidin Aceh sebagai Penegak NKRI


Tidak dapat disangkal lagi bahwa wujudnya NKRI lebih didominasi oleh perjuangan dan perlawanan para mujahidin Aceh yang mempertahankan invasi Belanda kedua tahun 1948. Pada masa tersebut seluruh wilayah RI sudah dikuasai kembali oleh penjajah Belanda kecuali Aceh. Ketika itu Soekarno dan Muhammad Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden sudah ditangkap penjajah, Syafruddin Prawiranegara selaku Presiden Darurat Republik Indoonesia (PDRI) sudah hijrah ke Kutaraja (Banda Aceh) dan dibiayai oleh masyarakat Aceh sepenuhnya.

Dalam suasana seumpama itu Aceh juga membiayai para pejuang di kawasan Sumatera Barat dan Sumatera Timur dengan mengirim ber ton-ton beras, kerupuk mulieng, lembu kerbau dan sebagainya sebagai bekal mempertahankan wilayah RI sehingga ia wujud seperti hari ini. Di luar negeri, biaya duta keliling Haji Agussalim, Dr. Sudarsono di India, biaya Konferensi Asia di New Delhi dan biaya hidup L.N.Palar selaku duta Indonesia di PBB New York juga ditanggung oleh masyarakat Aceh sehinga NKRI wujud di permukaan bumi ini. bahkan biaya untuk perwakilan R.I. di Pulau Pinang dan Singapura juga ditanggung oleh orang Aceh.[1] Dengan demikian tidak salah kalau kesimpulan sedikit kental diambil bahwa NKRI sebetulnya ditegakkan dan diwujudkan oleh para mujahidin Aceh yang menginginkan Islam dan hukumnya berlaku penuh di dalamnya.

Ketika wilayah RI dahulu dijajah Belanda, pejuang-pejuang Aceh dengan gigih dan giat berupaya membebaskannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang cukup signifikan adalah membeli pesawat terbang yang menjadi pesawat terbang pertama buat Indonesia. Bangsa Aceh mengumpulkan dana, emas dan benda-benda lain untuk keperluan tersebut yang berjumlah banyak. 20 kilogram emas murni beserta sejumlah dana yang berkumpul di tangan Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) Muhammad Joened Joesoef pada tanggal 1 bulan Agustus 1948 segera diberangkatkan ke Singapura untuk diserahkan kepada ketua komisi pembelian pesawat terbang opsir udara II Wiweko, menjelang tiga bulan kemudian sebuah pesawat Dakota berjaya diterbangkan ke Indonesia akhir bulan Oktober 1948.[2]

Yang tidak kalah penting dan lebih signifikan lagi adalah peran Radio Rimba Raya yang bermarkas di Krueng Simpo Kabupaten Bener Meriah. Radio ini telah berhasil menyiarkan berita keluar negeri bahwa Aceh masih tetap eksis dan para pejuang tetap melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dengan demikian dunia luar tidak mengakui klaim Belanda bahwa Indonesia telah dikuasai mereka. Karena Aceh masih eksis dan berjuang untuk kemerdekaan RI maka RI wujud atas perjuangan para mujahidin Aceh, dan penjajah Belanda kemudian kewalahan dan gagal menaklukkan Aceh yang sekaligus gagal menaklukkan RI.



Asal muasal NKRI
Nama Indonesia berasal dari klaim penjajah Belanda terhadap kawasan-kawasan jajahannya yang diberi nama wilayah Hindia Belanda. Hindia Belanda tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Indos Nesos, dari kata Indos Nesos tersebutlah kemudian muncul kata Indonesia.[3] Dengan demikian negara yang diberi nama Republik Indonesia hari ini merupakan kumpulan wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda yang disahkan menjadi sebuah negara pasca berakhirnya penjajahan di muka bumi dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan Pulau Jawa sebagai pusat administrasinya.
Dari sudut pandang historis, NKRI sama sekali tidak punya dasar sejarah sebagaimana dasar sejarah bagi Keraaan-kerajaan lain di kepulauan Melayu. Dari segi sosiologis, ia sama sekali tidak mampu mengelola dan menyejahterakan rakyatnya yang berjumlah sangat banyak. Dari segi politis, NKRI selalu goyah, pecah dalam komunitas, terancam ambruk, diobok-obok pihak luar dan kacau balau dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam usia yang sudah melebihi setengah abad hari ini, NKRI sama sekali tidak bermarwah di luar negeri, warga negara RI yang bekerja di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Australia dan di negara-negara Arab dipandang sebelah mata oleh mereka. Hal ini terjadi belum tentu karena mereka sombong dan arrogan, tetapi lebih disebabkan oleh ketololan dan kedunguan serta kejahatan yang dilakukan warga negara RI sendiri sehingga mereka dipandang hina.

Kenapa harus Indonesia dan mengapa tidak boleh Aceh?

Pertanyaan di atas sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Mereka sangat sensitif dengan pertanyaan-pertanyaan seumpama itu karena dalam benak mereka NKRI itu dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka. Sebetulnya, ditinjau dari sudut manapun juga tidak ada ketentuan yang memberi harga mati kepada NKRI dalam konteks kenegaraan. Di antara tujuan mendirikan sesuatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk memberi keamanan kepada rakyatnya, untuk memastikan semua hukum dan perundang-undangan berjalan lancar di sana dan untuk memajukan Islam serta meningkatkan iman dan amal shalih bangsanya (khusus buat muslim).

Lalu kalau semakin lama NKRI wujud semakin compang camping dan meutng pan�ng rakyatnya, maka kenapa harus Indonesia? Kalau semakin lama wujudnya NKRI semakin tidak punya keamanan terhadap rakyatnya, maka mengapa mesti Indonesia? Kalau semakin lama wujud NKRI semua hukum dan perundang-undangannya tidak berjalan semestinya maka kenapa harus Indonesia? Khusus buat muslim dan muslimah, kalau semakin lama bertahannya NKRI semakin hancur Islam dan Hukum Islam di dalamnya, maka kenapa pula harus NKRI?

Sebaliknya; kalau sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Aceh telah berjaya mendirikan sebuah negara dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka kenapa tidak boleh Aceh? Kalau sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang berusia berabad-abad lamanya telah mampu dan sukses memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka kenapa pula tidak boleh Aceh? Kalau bangsa Aceh telah berjaya mewujudkan dan mengamalkan Hukum Islam dalam Negara Aceh dahulu kala, maka kenapa mesti bersama Indonesia? Kalau sejarah telah mencatat bahwa bangsa Aceh mampu menyaingi bangsa-bangsa lain di permukaan bumi ini dalam wadah Ke-Aceh-an, maka kenapa harus bersama NKRI?

Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berhak menghambat, melarang atau menyuruh orang Aceh harus begini atau begitu dalam konteks kenegaraan hari ini kalau Indonesia dan prilaku penguasanya masih tetap jahil dan biadab. Hanya ketentuan Allah sajalah yang punya wewenang tinggi untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan Bangsa Aceh harus selaras dengannya. Kalau Bangsa Aceh sudah tercemar dengan gaya hidup mayoritas rakyat Indonesia yang ragu-ragu dengan Hukum Islam, maka Aceh lama kelamaan akan menyatu dan identik dengan Indonesia yang tidak berakar dan tidak berazas yang identitasnya perlu dipertanyakan.

Akibat lama bersama Indonesia wilayah Aceh tidak lagi mencirikan khas Aceh seperti dalam bidang Islam, dalam bidang pendidikan, dalam bidang adat-budaya, dalam bidang sosial kemasyarakatan, politik dan peradaban. Untuk kembali kepada identitas dan digniti Aceh yang orisinal, bangsa ini perlu waktu yang lumayan panjang untuk mengikis susupan-susupan peradaban luar yang kini menyatu dengan kehidupan sebahagian masyarakat kita. Pengembalian digniti dan identitas tersebut akan cepat prosesnya kalau dilakukan dengan power atau kekuasaan Aceh sendiri. Untuk mewujudkan power tersebut bangsa Aceh harus memiliki pakar dalam berbagai bidang dan harus saling membantu, saling menghargai dan saling memajukan negeri sendiri. Tidak boleh ada orang Aceh yang menyalahkan orang Aceh lainnya karena persoalan khilafiah dan furu�iyah dalam beribadah. Tidak boleh ada orang Aceh yang dengki dan benci kepada orang Aceh lainnya karena tidak mengikuti cara dan amalan hidupnya.

Saling membantu sesama Aceh untuk membolehkan Aceh dalam berbagai sisi kehidupan menjadikan modal penting pengembalian identitas dan digniti Ke-Aceh-an. Sekarang peluang untuk itu sudah terbuka lebar dan menganga dengan ambruknya dua rezim diktator Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru). Ditambah lagi dengan terbukanya Aceh kedunia luar sehingga komunikasi luar-dalam Aceh tidak lagi menjadi kendala. Banyaknya pemuda Aceh yang mencicipi pendidikan peringkat master dan doktor di luar negeri menjadi fasilitas tersendiri untuk membolehkan Aceh dan membiarkan Indonesia.


Ketulusan jiwa-raga para mujahidin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang berjalan Hukum Islam telah dipreteli dan dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan �aqidah dan kemantapan syari�ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan �aqidah dan kesempurnaan syrai�ahnya. Semua itu disebabkan semua anak bangsa Aceh harus tunduk, ikut dan patuh kepada ketentuan NKRI peninggalan dan setting Belanda. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang untuk menebus semua kekeliruan ituuuuuuu…..? jawablah wahai bangsaku.


sumber:
http://www.ummahonline.com/?p=711

bagi para pengunjung yang berbaik hati kepada kelangsungan blog ini,,,ingat, membantu blog ini tidak merugikan anda,,, harap klik salah satu iklan dibawah


Posted by Ikhwanesia.com on 05.53. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Labels