|

Kisah Selembar Baju Bekas

Ya, ini kisah yang terlihat sunguh sederhana. Begitu sederhananya sehingga yang mampu memaknainya pun adalah mereka yang bisa memaknai hikmah pada sebuah kesederhanaan.
Di suatu siang yang panas seorang ibu yang sudah paru baya mengetuk sebuah rumah. Rumah yang cukup besar di antara rumah lain, pemiliknya pun cukup berada, sebuah keluarga yang dikenal cukup baik akhlaknya. Pada pemilik rumah inilah si ibu paruh baya menaruh sebuah harapan. Selembar baju bekas.
Beberapa hari lalu, ibu paruh baya menemui sang nyonya rumah untuk meminta baju bekas milik anak si nyonya, sebuah seragam SMA. Saat itu sang nyonya sedang sibuk sehingga meminta ibu paruh baya itu datang lagi lain waktu untuk mengambil apa yang dimintanya. Tibalah hari ini, nyonya pemilik rumah masih berada di kantor, hanya puteri sulungnya yang menjaga rumah. Dengan penuh keberanian dan harapan, si ibu paruh baya mengetuk pintu rumah itu, keluarlah si putri sulung menemuinya. Dari sini, ibu paruh baya menceritakan maksud hatinya untuk menagih janji sang nyonya memberinya baju seragam bekas. Anaknya sudah mulai masuk sekolah.
“Emm, ibuk maaf, saya kurang tahu di mana ibu saya menyimpan baju bekas tersebut, tapi sebentar saya cari di lemari. Barangkali ada”, ucap putri sulung sesaat setelah ibu paruh baya mengutarakan maksud kedatangannya. Ia pun berlalu menuju kamarnya. Ya, baju yang diminta adalah baju seragamnya waktu SMA, saat ini ia sudah bekerja. Baju itu sudah sangat tidak layak pikirnya. Namun, mengingat apa yang diceritakan ibu paruh baya soal keinginan anaknya untuk istiqomah berjilbab, putri sulung tidak kuasa menolak. Ia pun melihat tumpukan demi tumpukan, berharap menemukan seragam sekolahnya yang dulu. Itu, ada di sana, sebuah atasan yang sudah tidak putih lagi, begitu pula jilbabnya. Untuk seragam Pramuka juga masih ada, begitu pun jilbabnya. Kemudian ia tersadar, bahwa isi lemarinya sudah banyak yang tidak dipakai meskipun masih bagus. Sepertinya akan lebih berguna jika ia berikan kepada sang ibu paruh baya. “Semoga bisa membuat anaknya semakin bersemangat untuk berhijab”, begitu batinnya. Akhirnya terkumpullah beberapa lembar baju seragam dan baju biasa lainnya. Si putri sulung memasukkannya ke dalam sebuah plastik.
“Ibuk, silakan ini bajunya. Semoga anak ibu bisa istiqomah berjilbab”, ucap si sulung sambil mengangsurkan baju-baju yang sudah ia kumpulkan.
“Terima kasih mbak, insyaAlloh saya bilangin supaya dia gak lepas-lepas jilbab lagi”, begitu jawabnya.
“Mbak, saya bisa pinjam uang 30 puluh ribu, anak saya butuh untuk membayar buku, mbak”, lanjut ibu paruh baya itu lirih.
“Emm, sebentar ya buk. Saya ambilkan”, putri sulung pun bergegas mengambilkan uang, bukan 30 ribu tapi 100 ribu, ia tidak tega jika hanya memberinya 30 ribu, sedangkan ibu tersebut hanya bekerja di terminal, membantu supir angkot untuk mendapatkan penumpang.
“Ini buk”, ujar si Sulung sambil mengangsurkan uang Rp 100 ribu,”Tidak perlu dikembalikan”, lanjutnya.
“Terima kasih banyak mba, kemarin saya bingung banget. Masa anak saya bilang begini,
“Buk, nang opo yo, wong Kristen luwih apikan ketimbang wong Islam?” , saya kaget mbak, tapi saya jawab begini “Mungkin nek wong Islam iku mung isa maca Qur’an thok nduk, tapi ora ngamalke isi Al Qur’an”, si Ibu paruh baya menceritakan perihal kejadian beberapa hari lalu yang sedikit banyak membuatnya gelisah.
Putri sulung betul-betul terkesiap, ia yang notabene aktivis dakwah tentu saja tersentak dan kaget. Ternyata anak yang akan memakai seragamnay sangat kritis perihal kondisi sosial di sekitar rumahnya. Pertanyaan yang dikeluarkannya itu membuat dadanya sakit. Ia tidak rela jika agamanya tercoreng karena oknum. Tapi ia bersyukur ibu parah baya ini tidak mengiyakan persepsi anaknya dan memberinya penjelasan yang bisa diterima.
Mereka yang mengamalkan Al Quran insyaAlloh mempunyai sifat yang baik, begitu kira-kira. Sesaat itu, putri sulung pun bersyukur karena Alloh telah memberinya petunjuk untuk mengambil keputusan yang tepat. Menolong ibu paruh baya ini. Jika tidak, bukan hanya nama kelurganya yang akan tercoreng, tapi juga nama Islam, bahkan keyakinan anak tadi terhadap Islam pun mungkin semakin hilang.
“Mba”, ibu paruh baya itu melanjutkan, “Nek angsal, kulo nyuwun Al Qur’an sing onten terjemahane, kajenge di waos kalih anak kulo”.
“Emm, nek Al Qur’an terjemahan meng onten setunggal Buk, tapi engken kulo tak matur ibuk kulo, insyaAlloh dipadosaken”, si sulung berpikir bahwa ini saat yang tepat untuk benar-benar bisa bermanfaat bagi umat.
Akhirnya pembicaraan mereka berdua pun melebar pada sejarah lampau ibu paruh baya ini. Sudah 12 tahun ia menjanda dan harus menghidupi 3 anaknya sendiri. Ia pernah berjualan makanan kecil namun dirasa kurang menguntungkan. Akhirnya ia kembali mencari rejeki di terminal. Dia mengaku tidak pernah absen sholat, bahkan sering diminta untuk mengajar ngaji ibu-ibu di lingkungan rumahnya. Namun ia merasa tidak pede dan akhirnya menolak untuk mengajari. Ibu paruh baya ini pun mengeluhkan soal hijab, ia belum mau berjilbab karena belum nyaman. Maklum, tempatnya bekerja memang sangat panas. Sebuah terminal. Putri sulung pun menyampaikan bahwa berhijab sama wajibnya dengan sholat dan puasa di bulan Romadhon, siapapun yang merasa Muslim dan baligh wajib mengerjakan. Jika diniatkan, insyaAlloh Alloh akan membantu. Si ibu paruh baya itu pun mengiyakan dan berjanji untuk menguatkan azzamnya menutup aurot.
Secara kebetulan ternyata sandal ibu paruh baya tertinggal di rumah itu. Subhannalloh, saat mengambil sandalnya itu, si ibu sudah menggunakan hijabnya. Bahkan sama sekali tidak terlihat ketidaknyamanan di wajahnya. “Semoga beliau istiqomah”, batin si putri sulung.
Ini mungkin hanya kisah selembar baju bekas, tetapi sesungguhnya adalah kisah tentang pengharapan. Tentang orang-orang yang dengan selapang perasaan mengharapkan penyelesaian hidupnya, di tangan orang-orang Muslim yang dipercaya.
Seperti itu pula semestinya kita menjalani kehidupan kemusliman kita. Menjadi Muslim –dan seperti agama Islam itu sendiri- sama artinya dengan menjadi pusaran pengharapan. Rasululloh SAW bersabda “Sebaik-baik manusia, yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Hanya orang-orang Muslim yang punya daya cipta manfaat, yang akan memancarkan cahaya Islam dalam performa luhur, yang mampu menjadi ruh bagi kehidupan ini.

Terinpirasi oleh karya Ahmad Zairofi AM dalam bukunya Lelaki Pendek, Hitam dan Lebih Jelek dari Untanya. Baju Besi dan Pusaran Pengharapan, Ahmad Zairofi AM.

Posted by Ikhwanesia.com on 04.00. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Labels