Perjalanan Hidup Seorang Korban Tsunami Aceh
Tiap kali memandang laut, hatiku bergetar karena melihat sebuah tanda kebesaran Tuhan, yang membuatku merasa sangat kecil, ibarat sebutir pasir di tepi pantai. Namun tak dapat kupungkiri, aku pernah merasa sangat trauma melihat laut. Sebab laut pula yang telah membuat jalan hidupku berubah seratus delapan puluh derajat, beberapa tahun silam…
***
Waktu itu hari Sabtu, 25 Desember 2004. Aku mengantarkan istri dan putri semata wayangku yang baru berusia delapan bulan ke rumah orangtuaku untuk berakhir pekan. Ada suatu urusan yang mengharuskan aku tak bisa kembali hingga esok hari. Entah kenapa, sebelum pergi, ada dorongan kuat dari dalam hatiku untuk masuk ke kamar Mamak (ibu) yang sedang tidur. Sebuah dorongan yang aneh, karena selama ini aku dikenal sebagai anak paling badung dan cuek dalam keluarga. Namun entah kenapa, hari itu aku ingin sekali memandangi wajah wanita yang melahirkanku itu dari dekat. Kucium kening Mamak yang sedang tidur pulas, dan hatiku bergetar saat melakukannya. Ada sesuatu yang berkecamuk di dadaku, yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Keesokan paginya, 26 Desember 2004, menjadi hari paling tak terlupakan sepanjang sejarah hidupku. Aku tengah berjualan di pasar saat peristiwa mengerikan itu terjadi. Tak pernah kusangka diriku akan menjadi salah satu saksi hidup sebuah bencana terbesar dalam kancah sejarah dunia. Aku ada di sana, tubuhku tergulung-gulung, terombang-ambing, dan terseret derasnya arus air bah yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah hari itu.
Aku tak ingat berapa lama aku meronta-ronta dan mencoba menyelamatkan diri. Ketika akhirnya semua berakhir, kudapati diriku dalam kondisi mengenaskan. Pakaianku berbalut lumpur, tubuhku terluka di sana-sini terkena pecahan beling dan paku. Aku berjalan tertatih, mencoba mencari tempat beristirahat karena lelah yang teramat-sangat mendera fisikku.
Dalam kondisi kebingungan, tiba-tiba, entah dari mana asalnya, seorang kakek tua menghampiriku. Ia menyodorkan selembar gamis putih bersih kepadaku dan menyuruhku mengenakannya. Aku tak sempat memikirkan dari mana datangnya kakek misterius itu, juga bagaimana bisa masih ada pakaian bersih sementara semua yang ada di sekelilingku berlumuran lumpur. Tanpa banyak cakap, aku segera mengganti pakaian yang terasa berat karena lumpur, kemudian bergegas pergi untuk mencari keluargaku.
Luka-luka yang disebabkan pecahan beling dan paku menimbulkan perih di sekujur tubuhku, tapi tak mampu mengalahkan perihnya rasa di hatiku saat kudatangi lokasi tempat rumah orangtuaku, namun tak kutemukan apa-apa kecuali puing-puing bangunan yang telah rata dengan tanah. Mamakku, adikku, istriku, dan malaikat kecilku, semua hilang tak bersisa, ikut tersapu amukan air bah bersama ratusan ribu warga Tanah Rencong lainnya. Aku menjerit histeris. Langit serasa runtuh, menimpa hatiku hingga hancur berkeping-keping.
Selanjutnya, tak henti-hentinya aku menangis, menjerit seperti orang gila. Berhari-hari aku terlunta-lunta, dalam kondisi shock berat, menggelandang di jalanan, di tengah gelimpangan mayat-mayat yang mulai menebarkan aroma busuk.
Akhirnya bala bantuan datang. Oleh sebuah LSM, aku dibawa ke sebuah camp pengungsian, tempat aku menghabiskan hari-hari dalam kondisi seperti orang gila. Menjerit dan menangis meratap-ratap, itulah yang kulakukan setiap hari selama berada di barak pengungsian. Dengan waktu yang terasa berjalan begitu lambat.
Hingga suatu hari, saat sedang tidur, aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.
“Teddy, saya pamanmu!” kata pria itu setelah kami duduk saling berhadapan
Oh Tuhan, ternyata aku masih punya keluarga, ternyata aku tidak sebatang kara seperti perkiraanku. Pamanku yang menetap di Bali, hari itu datang ke Aceh khusus untuk mencari keluarganya. Dan ternyata aku satu-satunya keluarga yang ditemukan dalam kondisi hidup.
Aku lantas diboyong oleh pamanku ke Bali, dalam kondisi masih labil dan dihantui rasa trauma berat. Dalam perjalanan ke Bali, aku terus berteriak-teriak dan menangis seperti orang gila, dan perilaku tersebut berlanjut hingga tiba di Bali dan tinggal bersama keluarga pamanku di sebuah rumah di kawasan Ubung, Denpasar. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, pamanku terpaksa mengurungku di dalam kamar. Aku tidak boleh ke mana-mana.
Hari demi hari berlalu, kondisiku mulai stabil meskipun belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Aku mulai jenuh terus-menerus berdiam diri di dalam kamar. Kepada salah seorang putra pamanku, aku minta keluar dan dibukakan pintu pagar. Semula dia menolak. Namun karena aku terus-menerus mendesaknya, akhirnya dia pun meluluskan permintaanku.
Aku keluar dari rumah pamanku dan berjalan tak tentu arah, tanpa sepeser pun uang di kantongku. Aku berjalan dan terus berjalan. Aku tak ingat lagi berapa lama aku berjalan, hingga tibalah aku di sebuah pantai, yang belakangan kuketahui sebagai Pantai Kuta.
Aku lantas duduk di atas sebongkah batu besar di tepi pantai, memandang ke arah laut lepas dengan kecamuk perasaan yang sulit dilukiskan oleh kata-kata. Aku sekarang berada di Pantai Kuta, sebuah pantai yang terkenal hingga penjuru dunia karena keindahannya, namun duduk di sini, tak sedikit pun kudapati keindahan itu. Yang kulihat hanya sebuah kekejaman terpampang di depan mataku. Kejamnya laut, yang telah merenggut paksa orang-orang tercinta dariku! Mamakku, istriku, adikku, putriku tercinta. Semuanya. Trauma itu kembali menyesakkan dada, dan aku mulai larut dalam ledakan emosi yang menghentak-hentak.
Aku menangis, meraung, hingga orang-orang di sekitar pantai berdatangan mengerumuniku, menanyakan apa yang terjadi. Banyak yang bersimpati dan tergerak untuk mengulurkan tangan. Seorang pedagang nasi bungkus bahkan berbaik hati memberiku nasi bungkus dan air minum.
Susah-payah kukuatkan diriku, mencoba bangkit di tengah puing-puing hatiku yang terserak. Aku mulai memutar otak, mencari cara untuk bertahan hidup. Sebab aku tak mau dikasihani. Walaupun aku punya paman yang mampu membiayaiku, namun aku tak mau bergantung padanya.
Aku lantas berkenalan dengan seorang penjual koran di sekitar pantai Kuta. Kepadanya aku meminta diizinkan ikut membantu menjualkan koran, agar aku bisa punya uang sekadar untuk makan. Syukurlah, ia mau menolongku. Belakangan, setelah mengetahui kisahku sebagai salah seorang korban tsunami Aceh, ia lantas mengenalkanku dengan agen koran kenalannya, sehingga aku bisa langsung mengambil koran dari agen tersebut dengan keuntungan yang lebih banyak.
Maka, berlanjutlah hidupku dalam hari-hari sebagai penjual koran. Aku tenggelam dalam kerasnya hidup di daerah wisata yang namanya pernah tercoreng lantaran diguncang bom dengan jumlah korban tak sedikit, menyebabkan aparat setempat bertindak keras pada penduduk pendatang. Pernah suatu hari aku ditangkap oleh seseorang yang belakangan kuketahui disebut pecalang (polisi adat Bali). Dengan galak dia menginterogasiku, menanyai soal kipem (kartu identitas penduduk musiman). Karena tidak tahu-menahu soal kipem, kukatakan bahwa aku adalah korban tsunami Aceh. Sontak sinar kemarahan di matanya meredup, berubah menjadi tatap iba. Aku lantas dibantunya mengurus kipem dengan tanpa dikenai biaya sepeser pun.
Selanjutnya, aku terus menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar Kuta, rajin mencari kenalan-kenalan baru. Aku mulai banyak memiliki kenalan orang-orang bule, salah satunya kemudian menjadi pelanggan tetap koran daganganku. Dari sinilah jalan hidupku mulai berbelok. Melalui interaksi dengan bule-bule itu, akhirnya aku berkesempatan untuk bekerja di sebuah restoran milik warga asing di bilangan Kuta.
Awalnya, aku hanya bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran itu. Lama-kelamaan, karena bosku menganggap aku telah bekerja dengan baik, aku naik jabatan menjadi pelayan saji. Lalu sebuah skandal korupsi terungkap, dengan manajer restoran sebagai terdakwanya. Pemilik restoran lantas memecatnya. Setelah itu aku diangkatnya sebagai manajer pengganti, dengan gaji tiga juta rupiah setiap bulan. Aku mendapat kepercayaan penuh dari pemilik restoran untuk mengelola restoran, sekaligus secara berkala mengirimkan uang hasil penjualan. Tiap bulan, rata-rata aku mentransfer sekitar Rp 30-50 juta ke rekening sang pemilik restoran di luar negeri. Aku pula yang memegang uang belanja harian. Yah, walaupun aku bukan tergolong orang yang religius, namun kejujuran adalah sebuah nilai hidup yang selalu kupegang.
Namun tak dapat kupungkiri bahwa pekerjaan dan pergaulanku sebagai manajer restoran di kawasan wisata semakin menyeretku jauh dari Tuhan. Aku yang sedari masih di Aceh dulu memang jarang sholat dan jauh dari kehidupan religius, setiap hari menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan dan dugem. Hari demi hari, di tengah nikmatnya kemapanan, aku merasakan ada sisi lain dari diriku yang menjerit karena rasa hampa yang mendera. Aku teringat pada adikku, mamakku, istri dan anakku yang telah berpulang. Mengapa hanya aku yang dibiarkan tetap hidup dalam bencana mahadahsyat itu? Tentu ada maksud Tuhan di balik semua ini. Aku telah berhasil bangkit dari keterpurukan, dan Dia telah memberiku kecukupan. Namun uang yang kuperoleh kuhambur-hamburkan hanya untuk dugem dan mabuk-mabukan. Haruskah selamanya aku menjalani hidup dengan penuh kesia-siaan seperti ini?
Dalam keadaan kalut, aku lantas mulai mencari dan mencari. Beberapa waktu kemudian, dorongan hati membawa langkahku pada sebuah masjid di bilangan Imam Bonjol Denpasar. Di sana, aku menemukan sebuah titik terang atas pencarianku, dengan bergabung dalam sebuah jama’ah dakwah. Aku mulai rajin mengkaji ayat-ayat Allah bersama jamaah ini. Lambat-laun kegersangan hatiku mulai terobati. Aku mulai belajar mengenal Allah yang selama ini telah jauh kutinggalkan.
Visi hidupku pun berubah total, yang membuat tekadku bulat untuk meninggalkan pekerjaanku sebagai manajer restoran, dan memulai hidup baru dengan pekerjaan lain. Kujalankan sunnah Rasul dengan berdagang di samping juga bekerja serabutan.
Suatu hari, saat sedang mondar-mandir di kawasan Kuta terkait pekerjaanku sebagai pedagang, tanpa sengaja aku bertemu dengan seorang wanita bule Australia yang menjadi pelanggan setia restoran tempat aku bekerja dahulu. Tak kuduga pertemuan itu menjadi awal dari terungkapnya sebuah fakta. Ternyata, diam-diam dia pernah menaruh hati padaku, dan demikian sebaliknya. Aku juga pernah menyimpan “rasa” kepadanya.
Akhirnya kami menikah. Ya, untuk kedua kalinya aku menikah, kali ini dengan wanita yang usianya terpaut jauh di atasku. Disaksikan teman-teman jama’ahku, kami menikah dalam suasana penuh kesyukuran, karena sebelumnya dengan kerelaan hati dia telah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Setelah itu, kubawa istriku ke kampung halamanku di Aceh. Kami kembali mengikat janji di Masjid Agung Baiturrahman, sebuah bangunan yang menjadi salah satu bukti kebesaran Allah karena tetap tegak kokoh berdiri di tengah puing-puing bangunan lain saat tsunami melanda bumi Serambi Mekkah. Kedatanganku bersama istri yang seorang bule menimbulkan kegemparan di tanah kelahiranku, bahkan sempat menjadi berita di Aceh Post.
***
Kini aku hidup tenang bersama istri buleku di Jimbaran. Kuisi hari-hariku dengan berdagang dan bekerja serabutan. Orang bilang aku nyentrik dengan gamis dan sorbanku, ditambah gaya bicaraku yang ceplas-ceplos. Tiap hari aku berkeliling dan bersilaturahim door to door, menawarkan dagangan sambil berdakwah. Kupegang betul ajaran Rasulullah, bahwa silaturahim dapat memperpanjang umur dan menderaskan rezeki, insya Allah.
Memandang laut Pulau Dewata nyaris setiap hari, selalu membuat hatiku bergetar. Tak dapat kupungkiri, perih itu masih bersisa, sebab aku hanyalah seorang manusia biasa. Namun tak kuizinkan perasaan itu menguasai hatiku, kuperbanyak istighfar dan kalimat-kalimat syukur kepada-Nya, sebab lautlah yang telah membawaku pada hidayah-Nya.
(Seperti dituturkan oleh Teddy, korban hidup tsunami Aceh 26 Desember 2004)