Melihat Lebih Dekat Pustaka Kuno Tanoh Abee
Bagi sebagian masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa, masih banyak yang tidak mengetahui tentang Perpustakaan Tanoh Abee. Perpustakaan ini berada di Seulimum yang saat ini dikelola oleh Ummi, istri Teungku Chik Tanoh Abee. Untuk berkunjung ke perpustakaan kuno ini kita harus menempuh perjalanan yang sedikit panjang. Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, kontributor The Globe Journal bersama-sama dengan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, berhasil berkunjung ke perpustakaan kuno yang terkenal hingga ke luar negeri tersebut. Dari sumber lain dikatakan, menurut hasil penelitian Arkeologi Islam Indonesia, perpustakaan tersebut merupakan satu-satunya perpustakaan Islam tertua di Nusantara, bahkan termasuk perpustakaan Islam yang paling tua di Asia Tenggara!
Perpustakaan Tanoh Abee atau yang disebut juga Zauyah atau Tanoh Abee adalah milik pribadi keturunan Teungku Chik Tanoh Abee Al-Fairusi Al-Baqdadi (al-Baghdadi). Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam. Seperti ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, ilmu Ibadah, ilmu Penciptaan Alam Semesta dan masih banyak ilmu-ilmu yang dibahas lainnya.
Perpustakaan ini sudah ada sejak abad 16 M. Uniknya dari perpustakaan ini adalah pesan Abu Tanoh Abee yang diteruskan oleh pihak keluarga, yaitu tidak membolehkan para muslimah untuk melihat kitab-kitab yang ada di dalam perpustakaan tersebut.
“Begitulah amanah abu kepada kami,” kata Umi yang diiyakan oleh seorang santri ketika kami mencoba menanyakan maksud dari larangan tersebut.
Semasa perang Aceh melawan Belanda yang berkecamuk dari tahun 1873-1913 M, Dayah (disebut juga Zauyah) Tanoh Abee tersohor sebagai salah satu tempat konsentrasi laskar Aceh. Di dalam dayah ini tersimpan banyak karya-karya klasik ulama-ulama nusantara bahkan Timur Tengah, yang semuanya itu disalin kembali oleh Abu Tanoh Abee. Manuskrip-manuskrip kuno itu berjumlah 6000 judul kitab.
“Sebagiannya ada yang dicuri oleh Belanda ketika perang berkecamuk, rusak akibat tersimpan lama di gua saat kitab-kitab ini disimpan untuk menjaga agar kitab-kitab tersebut tidak dicuri atau dibakar oleh Belanda, dan banyak juga yang terbakar akibat perang,” kata santri yang memandu kami masuk ke dalam perpustakaan kuno tersebut.
Umi kembali menjelaskan bahwa sebagian kitab ini juga sempat berada di sebuah dayah di Bitai, namun, akibat tsunami 2004 silam, kitab-kitab kuno itupun lenyap disapu gelombang tsunami. “Ada juga sebahagiannya dikubur oleh Abu (panggilan untuk Teungku Chik Tanoh Abee-red.), karena takut isi kitab-kitab tersebut dipelajari atau diamalkan oleh masyarakat awam (karena isinya sangat tidak mampu dipahami oleh manusia biasa,bisa menyebabkan murtad-red).”
Menurut catatan yang ada, saat ini manuskrip-manuskrip kuno ini dijaga dan dirawat oleh generasi ke sembilan Keluarga Al-Fairusi. Namun, sebenarnya ada juga karya-karya baru yang berada di perpustakaan ini. Manuskrip-manuskrip kuno ini sebenarnya tidak untuk dipelajari namun hanya dijadikan sebagai koleksi. Dan hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian tersebut.
Lantas, kenapa karya-karya ulama itu tidak boleh dibaca bahkan dipegang oleh orang lain?
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
Menurut istri Abu, atau akrab dipanggil oleh masyarakat sekitar sebagai Umi ini, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. Bahkan, ada kitab-kitab yang berada satu lemari di dalam perpustakaan itu yang tidak boleh dirawat atau dibersihkan oleh keluarga beliau.
“Pernah suatu hari, datang seorang peneliti asing ke rumah. Peneliti tersebut ingin melihat sendiri kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi koleksi Teungku Chik Tanoh Abee tersebut. Namun, setelah selesai membaca salah satu kitab tersebut, si peneliti tersebut terheran-heran dengan isi kitab tersebut, yang diluar batas ilmunya. Peneliti itupun akhirnya kagum terhadap kitab tersebut,” jelas Umi panjang lebar dengan logat melayunya yang khas.
Saat ini kitab-kitab ini sudah ditangani oleh pihak PKPM dan sebuah lembaga yang berada di Jepang. Oleh pihak Jepang, demi menjaga manuskrip-manuskrip kuno ini, kitab-kitab tersebut dibawa ke Jepang untuk disalin dan dicetak kembali tanpa mengubah isi untuk menjaga dari termakan oleh usia dan rayap.
Seperti dikatakan oleh Umi, di Zauyah ini banyak terdapat karya-karya ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Karya-karya klasik yang tersimpan disini antara lain milik Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nurruddin ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala), Al-Ghazali dan lain sebagainya.
Posted by Ikhwanesia.com
on 20.38. Filed under
aceh,
hebat,
info baru,
sastra,
sastra Indonesia,
sejarah,
sejarah aceh,
unik
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response