|

Syahidah Dari Pantai Timur Aceh

Aneuk neu sadjan malam ngon uroe, Suntok geusom droe didalam rimba.
Beulanda mita rata djitjawoe, Nibak siuroe ka troh hat masa.

Neutjang Beulanda siri nyang peutoe, Djitimbak dudoe oleh Belanda, 
Disinan sjahid Tjut Nyak Sambinoe, Tinggai aneuk droe’ sidroe lam rimba

(Anzib Lamnyong, Himpunan Haba UreungTuha, 1968)

Setelah iddahnya selesai, Mutia memenuhi wasiat suaminya T Cut Muhammad yaitu kawin dengan Pang Nanggroe. Teuku Cut Muhammmad sendiri dihukum tembak oleh Belanda dan gugur pada tanggal 25 Maret 1905 di Lhokseumawe (kisahnya sudah saya papar minggu lalu).

Syahdan, pernikahan Cut Nyak Meutia dengan Pang Nanggroe berlangsung sederhana di di hadapan Teungku Chik di Lueng Kubeu yang dinikahkan oleh ayahnya Teuku Ben Daud dan disaksikan oleh Teuku Ben Pirak (Abangnya), Teungku Paya Bakong alias Teungku di Mata Ie, Teungku di Barat, Pang Lateh serta para pejuang lainnya. Setelah akad nikah, maka keduanya langsung mengorganisir peperangan melawan Belanda.

Dalam sejarah, dicatat bahwa Cut Nyak Meutia dan Pang Naggroe bersama pejuang lainnya di wilayah Pasai, Keureuto dan Lhokseukon memancing Belanda supaya menyerbu ke markas mereka. Strategi itu dilakukan dengan memasang mata-mata yang terpercaya, lalu membuat siasat dengan memberitahukan kepada Belanda bahwa ada kenduri besar sedang diadakan di kediaman Cut Nyak Meutia.

Ketika pasukan Belanda menyerbu ke sana, didapatinya hidangan teratur rapi di atas rumah, nasi dengan serbaneka lauk pauknya. Prajurit-prajurit Aceh tidak seorang pun ditemui. Menurut perkiraan Belanda, semua orang Aceh yang menghadiri kenduri telah meninggalkan tempat itu karena kedatangan mereka. Dengan tidak berpikir jauh lagi, semua serdadu duduk menghabiskan semua makanan. Ketika mereka sedang makan dengan lahapnya, tiba-tiba rumah itu rubuh dan terhempas. Pada saat yang tepat, prajurit-prajurit Aceh menyerbu dan membunuh serdadu serdadu Belanda yang sedang berusaha melepaskan diri dari ambrukan rumah. Sebanyak 20 serdadu Belanda mati, dan 20 pucuk bedil berisi dengan -peluru-pelurunya berhasil direbut oprajurit Aceh. Ketika Belanda yang datang memberi bantuan, melihat tiang-tiang rumah, kasau dan alat kayu yang besar besar telah lebih dahulu digergaji. Untuk membuatnya tetap tegak utuh seperti semula diikat dengan tali-temali yang ujungnya berpunca pada pohon-pohon besar di sekitarnya.

Taktik yang dimainkan oleh Cut Meutia dan Pang Naggroe sangat dikagumi oleh musuh. Zentgraaff, penulis Belanda dalam bukunya “Perang Aceh” mengatakan siasat perjuangan Cut Nyak Mutia dan Pang Nanggroe merupakan seni yang luar biasa tingginya. Cara itu hanya dimiliki pada seseorang yang memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin perang seperti mareka. Seni berperang seperti ini memang dilakukan di dalam situasi perang Aceh, dengan tujuan, musuh harus mati, senjata harus direbut. Artinya, musuh tidak boleh hidup atau lari dari medan perang.

Akhirnya, pemerintah Belanda di Batavia membentuk pasukan khusus yang diberi nama “Kolonne Macan” dipimpin Kaptein Hans Christoffel, diturunkan untuk mengejar Cut Nyak Meutia, Pang Naggroe dan pejuang lainnya di kawasan Lhokseukon, Keureutoe, Pase. Christoffel diberi hak untuk mengatur sendiri kesatuannya, asal Cut Nyak Mutia bisa dilumpuhkan.

Dalam operasi Belanda, mereka lebih banyak menggunakan pasukan dari serdadu Marsose yang pernah bertugas di Aceh. Mereka yang memiliki militansi dipilih Christoffel menjadi anak-anak macan dalam kesatuan Kolonne Macan-nya itu. Pada tanggal 26 September 1910, satu devisi dari Kolonne Macan yang dipimpin Van Sloten berhasil menemukan jejak Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia.

Ketika terjadi perkelahian antara Pang Nanggroe dengan Van Sloten tiba-tiba sebutir peluru menembus dadanya. Ia tersungkur jatuh berlumuran darah. Beberapa saat kemudian menghembuskan nafas terakhir, gugur di hutan belantara. Menjelang hayatnya, berulang-ulang ia mengucapkan zikir memuji Ilahi. Ketabahan terbayang pada air mukanya yang semakin pucat kehabisan darah. Dalam keadaan sakaratul maut, dia memerintahkan isterinya, Cut Nyak Meutia, agar menyelamatkan diri bersama anak tirinya Teuku Raja Sabi dan pasukannya. Mayat Pang Nanggroe diangkat serdadu-serdadu musuh dan dikebumikan di Lhoksukon Aceh Utara.

Sebulan kemudian tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1910, Belanda mengirim patroli dari devisi Kolonne Macan Marsose lainnya yang dipimpin oleh Sersan W.J. Mosselman untuk melakukan operasi di sekitar Gunong Lipeh untuk mengejar Cut Nyak Meutia dan pengikutnya di hulu Krueng Peutoe. Pasukan ini berhasil menemukan jejak Cut Nyak Meutia dan pasukannya. Peristiwa itu tercatat dalam buku “50 tahun Korps Marsose di Aceh” yang dikeluarkan pada tahun 1940. Sersan W.J. Mosselman mengisahkan sebagai berikut.

“Tembakan gencar ditujukan ke arah kami dari jarak yang dekat sekali. Peluru musuh mencurah sekitar kami dan mengenai bukit-bukit batu yang mendinding di belakang kami. Komando penyerbuan diberikan oleh seorang wanita berbadan ramping. Rambutnya tergerai menghiasai wajahnya yang putih kuning. Dia tiba-tiba terkepung oleh serdadu kami dalam jarak dekat sekali. Di kiri kanannya, di muka dan di belakangnya bermunculan sangkur-sangkur dan laras senapang yang siap ditembakkan. Tetapi ia tidak gugup. 
“Menyerah!” teriak Mosselman. Wanita itu tak mengacuhkan. Sebagai jawaban, dengan loncatan secepat kilat ia menerkam pasukan kami hingga rubuh. Sekali lagi Mosselman menempik, “Menyerah!” dia semakin marah. Seperti singa betina ia menyeringai kepada kami sambil mengacungkan pedang. Dalam keadaan yang genting itu, tiga laras bedil menembak ke arahnya, mengenai kepala dan badannya. Ia tersungkur dan jatuh. Kemudian gugur di celah-celah mayat bergelimpangan. Sebelum meneruskan tugas-tugas selanjutnya lebih dahulu kuperintahkan pasukan supaya membaringkan mayatnya serta membungkusnya dengan tikar-tikar yang kebetulan terdapat di situ. Saya membuka topi, sejenak berdiri di sampingnya untuk memberi hormat.

Cut Nyak Mutia akhirnya syahid tanggal 25 September 1910 di kawasan Alue Dua, Krueng Peuto, Matang Kuli bersamaTeungku Syekh Paya Bakong alias Teungku Seupot Mata dan pahlawan lainnya. Sedangkan anaknya Teuku Raja Sabi baru berusia enam tahun, berhasil diselamatkan. Saat itu dia melanglang buana dalam rimba raya sampai dengan tahun 1919. Teuku Raja Sabi meninggal pada tahun 1946 akibat dari revolusi sosial . Inilah kisah perjuangan satu keluarga di Aceh yang ternyata mereka memang ditakdirkan untuk menjadi pembela tanah indatu orang Aceh.

Cut Nyak Mutia, perempuan berkondai mutiara dari pantai timur ini sudah 100 tahun tertidur panjang di kesunyian. Cut Nyak tak pernah ikut “training gender”, tak ada workshop kesetaraan. Maateri trainingnya, bukan masalah pakaian atau celana panjang, melainkan nilai-nilai perjuangan dan ideologi yang kukuh harus dipertahankan, sehingga rela hidup dalam kepahitan untuk membela kaumnya yang ditindas oleh penjajah. Adakah Cut Nyak Mutia Aceh sekarang yang mengingatnya, mewarisi semangat pejuang, dan menjadi singat belantara?

Oleh M. Adli Abdullah

Posted by Ikhwanesia.com on 19.32. Filed under , , , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Labels