|

Perang, Antara Solusi dan Masalah


Budiadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...

Oleh Adi Warsidi (*

Begitulah petikan suatu bait dari hikayat Prang Sabi, sebuah hikayat gubahan Tgk Chik Pante Kulu. Janji Allah tentang kedudukan dan kenikmatan abadi di surga membuat perang Aceh adalah perang yang terpanjang dan paling melelahkan di dalam sejarah Belanda.

Hari ini, perang tentunya telah bermetamorfosa. Bentuk penjajahan serta para penjajah juga berubah. Ia tidak hanya bermotif ekonomi, ia bisa berbentuk politik, ideologi, budaya, juga gaya hidup. Beberapa orang, para tokoh kepala negara mendeklarasikan perang terhadap ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan, gizi buruk dan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang komit dan berdedikasi penuh untuk menang dalam bentuk peperangan ini, at all cost.

Pada konteks tertentu, perang seperti ini adalah fardhu ain. Perang ini mungkin tidak kasat mata, hingga ia tidak besar seperti perang Aceh. Perang ini mungkin lebih hebat, karenanya ia memerlukan strategi khusus, juga karena ia merupakan musuh yang gesit dan pintar, yaitu keterbelakangan, ekonomi, kemiskinan, gizi buruk.

Otonomi daerah sejak dikeluarkan UU No.22/1999 memberikan implikasi yang sangat mendasar dari medan peperangan terhadap musuh di atas, musuh multidimensi. Salah satu misi otonomi daerah adalah meningkatkan kualitas pelayanan umum dan masyarakat di samping penciptaan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan efektifitas pengelolaan sumber daya (Mardiasmo, 2002). Hal ini tentunya membutuhkan reformasi pengelolaan sektor publik, kelembagaan serta manajemen pelayanan publik.

Setelah satu dekade, ternyata otonomi daerah memiliki dua sisi wajah. Jajak pendapat yang dilakukan Kompas (25 April 2011) mencatat pendapat yang beragam, beberapa capaian ekonomi, politik dan budaya di beberapa daerah menunjukkan angka yang mengesankan, sedangkan di daerah lain Indonesia masih tertatih-tatih, gagap, bahkan ada yang salah arah. Pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di beberapa provinsi dan daerah masih berjalan di tempat, bahkan ada yang malah menurun.

Manajemen publik terkesan amburadul, lembaga terlalu gemuk, lamban, sulit bergerak. Beberapa panglima (kepala daerah) dan elite wakil rakyat gagap, lalai, salah strategi. Buah pahit otonomi dan desentralisasi Indonesia; lebih dari 65 persen belanja digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, menyisakan sedikit belanja untuk pembangunan (Faisal Basri, 2009).

Beberapa pakar kebijakan publik merisaukan bahwa otonomi daerah hanya akan memindahkan KKN serta inefisiensi pusat ke daerah, ditambah dengan perilaku “rent-seeking” yang lazim di masa transisi pascakonflik. Terlepas dari kekhawatiran ini, desentralisasi dan otonomi khusus untuk Aceh harus disukseskan karena hal ini telah menjadi kesepakatan antara Aceh dan Indonesia.

Aceh di dalam konteks otonomi yang khusus, peperangan terhadap berbagai ketertinggalan mestinya dimenangkan dengan sangat mudah. Allah yang maha pintar menguji bangsa Aceh dalam bentuk peperangan yang lain tersebut. Apabila ini ingin dianggap perang, perlengkapan perang sudah lebih dari cukup, lebih dari Rp 12 triliun dana otonomi khusus dan bagi hasil sudah ditumpahkan dalam kurun 5 tahun terakhir, mandat penuh dari rakyat sudah diberikan, panglima berikut para wakil rakyat dipilih langsung, medan tempur tentunya sudah di luar kepala, dalam kerangka syariat Islam pula. Tentunya ia memerlukan waktu yang relatif singkat untuk menang, mungkin hanya sibak rukok.

Tanpa menafikan beberapa pencapaian pembangunan yang patut diapresiasi, beberapa strategi peperangan terlihat cukup baik. Infrastruktur terlihat membaik, JKA dan program beasiswa telah memberikan peluang untuk menyiapkan generasi Aceh yang pintar dan tangguh. Aceh green, meskipun efektifitasnya diperdebatkan, tapi mungkin ‘berhasil’ meredam kehancuran hutan Aceh yang merajalela. Strategi-strategi ini dinilai cukup berhasil, namun beberapa catatan panjang dari strategi masih harus kita benahi jika ingin menang perang, mungkin dari membenahi urusan belanja dapur atau keuangan publik.

Laporan Bank Dunia (2008) tentang analisa pembelanjaan publik di Aceh, menyatakan bahwa terdapat persoalan serius yang perlu dibenahi dalam pengelolaan belanja publik. Pemborosan adalah fenomena umum terjadi di berbagai unit kerja pemerintah daerah.


Pendekatan “incrementalism” yang berdasar dari perubahan satu variabel atau lebih seperti inflasi dan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah alokasi anggaran dari alokasi semula tanpa melihat kebutuhan dan kepatutan dari suatu pembelanjaan terbukti tidak tepat dan perlu dibenahi secara serius. Beberapa pos pengeluaran yang tidak penting sulit dihapuskan, sementara analisis yang mendalam terhadap struktur, komponen, dan tingkat biaya yang secara akurat akan mengidentifikasi jumlah kebutuhan alokasi dana sesuai arah pembangunan tidak pernah dilakukan.

Akhirnya, kita tidak kenal disiplin anggaran yang merupakan kunci kesuksesan, pemborosan di tiap unit, pengeluaran yang tidak penting tetap dilakukan. Kita tidak kenal dengan konsep nilai uang. Ukuran kinerja pemerintah masih menitikberatkan target penyerapan, belum lagi kualitas pengeluaran dan belanja.


Beberapa Panglima sagoe (Bupati) pusing; anggaran defisit (negative budgetary slack), PAD terus-terusan direvisi dengan skenario paling optimis tanpa diimbangi dengan komitmen untuk memenuhi targetnya, berharap limpahan otsus yang hanya tinggal 17 tahun lagi. Pembangunan terserak, para elite dan wakil rakyat tercerai berai, hilang arah. Pengesahan anggaran terlambat dan deretan panjang persoalan yang melilit sebagai bukti bahwa pengelolaan keuangan publik kurang efektif jika tidak ingin dikatakan salah urus. Dana Otsus mendanai urusan cilet-cilet, remah-remah, printilan kecil, mungkin salah tafsir prinsip tentang “pemerataan” kue pembangunan.

Hingga akhir tahun 2011, sekitar Rp 12, 7 trilliun dana Otsus termasuk Bagi Hasil Migas telah dialokasikan, sekitar Rp 100 trilliun dana akan diguyur ke Aceh dalam waktu 20 tahun.

Wahai Tuan Para Panglima Perang, dan para wakil rakyat pemimpin kamoe, sekali lagi, persenjataan perang kita sudah lengkap, medan tempur sudah Anda hafal di luar kepala, tinggal strategi dan komitmen Anda untuk menang yang perlu kita mantapkan. Kita tidak bisa terus-terusan membuang amunisi, waktu berjalan 17 tahun lagi bukanlah waktu yang lama. Jika memang ingin menang, sekarang waktunya, now or never!

Tanpa strategi, tanpa data dan pisau analisis penganggaran, kita layaknya masih berperang dengan gerilya, hit and run tanpa sinkronisasi antarlini, tanpa disiplin anggaran dan konsistensi, bahkan cenderung politis pula. Jangan salahkan sejarah yang akan mencatat bahwa kita telah kalah perang, jika menang pun dalam waktu yang cukup lama.

Aceh memang sedang bergerak, lebih baik, tapi merangkak, beberapa indikator makro menunjukkan hal-hal positif bahkan lebih baik dari provinsi tetangga dan tingkat nasional. Hal ini patut kita acungi jempol. Tapi kita perlu kemenangan cepat (quick win) juga gilang gemilang. Tidak memerlukan ratusan tahun seperti perang Aceh, karena memang kita hanya punya 20 tahun amunisi dari limpahan Otsus.

Wahai Para panglima dan wakil rakyat; sebagai tanda puteh hate kamoe; kami ingin mengingatkan, “Sir, we are at war...” Tidak ada waktu untuk lalai, restorasi Aceh harus dimulai. Kami akan terus berperang dan kami ingin menang, karena janji Allah yang gagah akan surga dengan cara kami, seperti hikayat Prang Sabi.

Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka.

***
sumber: atjehcyber
*) Penulis berprofesi sebagai jurnalis dan  bekerja di Aceh

Posted by Ikhwanesia.com on 23.06. Filed under , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Labels