|

Pungo Kupi, "Fenomena Warkop di Aceh"


Lekas Tsunami meluluhlantakkan Aceh 2004 silam, Sebuah fenomena baru muncul di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar. Fenomena yang dimaksudkan ini adalah kehadiran Mega Warkop dalam jumlah yang sangat banyak laksana tumbuhnya jamur di musim hujan. Tidak tanggung-tanggung, beberapa warkop baru-baru ini dibangun dengan area yang sangat luas dan memiliki kapasitas pengunjung 4 kali lipat atau lebih dari warkop biasanya.
Entah faktor apa yang merangsang pertumbuhan warkop di Banda Aceh, hal ini perlu penelitian lebih jauh.Mungkin Aceh layak mencatat rekor Muri untuk kategori masyarakat paling banyak minum kopi. Tidak di kampung, tidak di kota, warung kopi selalu penuh. Kopi seperti sudah menjadi kata kunci untuk tema pergaulan. Mau gaul, ya di warung kopi.

Makanya, tak perlu heran jika warung kopi tumbuh bak jamur di musim hujan.Sebelum tsunami, warkop yang paling terkenal dan banyak dikunjungi oleh pelanggan ada di salah satu titik di wilayah Ulee Kareng, yaitu Warkop Solong Jasa Ayah. Tidak ada yang tau secara pasti mengapa orang Aceh sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar untuk ngopi. Mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan warkop ini ramai dikunjungi pelanggan. Pertama, aroma dan rasanya yang berbeda dengan kopi-kopi di warkop biasa lainnya. Bahkan dengan ciri khas yang satu ini, maka di Aceh istilah “kopi Ulee Kareng” sudah sangat popular dalam kalangan masyarakat dan rata-rata orang yang baru datang ke Aceh pasti penasaran dengan kopi ini dan mau tidak mau harus merasakannya.

Kedua, tempatnya sangat luas sehingga kapasitasnya bisa menampung banyak orang. Ketiga, tempatnya sangat strategis yang bisa membuat pelanggan menyaksikan hiruk pikuk keramaian manusia.Untuk Aceh, warung kopi telah menjadi media alternatif. Informasi lebih ‘utuh’ bisa didapatkan di warung kopi, ketimbang dari media. Semua masalah dikupas tuntas di warung kopi, dari info yang masih sebatas isu hingga info yang benar-benar valid. “Aceh bisa dikelola dari warung kopi,” simpul kawan saya yang juga doyan minum kopi. Katanya, jika semua olah pikir, kebijakan, program, serta siapa yang layak menduduki sebuah jabatan hanya hasil poh cakra di warung kopi, tak perlu ada kantor pemerintahan yang bagus-bagus. Apalagi jika kantor itu kesannya seperti rumah hantu yang tak pernah bisa didatangi masyarakat. Mau masuk saja harus melewati sejumlah pemeriksaan, itu pun belum tentu bisa menemui orang-orang yang ingin ditemui.Kita pun beruntung masih ada warung kopi. Untuk menemui pembesar, tak perlu membuat janji bertemu.

Karena di warung kopi tak berlaku sistem antri, kecuali semua kursi sudah penuh terisi. Si pembesar tak mungkin menghalangi kita untuk tidak menjumpainya di warung kopi, karena minum kopi bukan lagi hak paten pecandu kopi. Kita bebas keluar masuk warung kopi, termasuk menjumpai siapa saja di warung kopi. Sebab, interaksi di warung kopi tak pernah terbatas. Ia mirip dengan pembicaraan, tak berhenti pada satu topik. Demikian halnya dengan interaksi, tak terbatas hanya teman yang kita kenali. 
 
Teman-teman yang tak kita kenali, kebetulan teman dari teman kita, juga bisa menjadi teman kita. Dunia warung kopi, dapat disebut sebagai jejaring sosial-nya dunia nyata.Makanya, tak ada teman minum kopi yang abadi di warung kopi. Sering kita temui, si A minum kopi dengan si B hari ini, tapi tak perlu heran jika si A bisa saja besoknya terlihat minum kopi dengan si C atau si E. Intinya, topik pembicaraan terus berubah, begitu juga soal teman, terus berganti.Tak heran memang, ketika ada yang bercerita soal tabiat seorang petinggi di sebuah kantor pemerintahan, dalam sehari yang bersangkutan dua kali duduk di warung kopi: siang dan sore hari. Dia sering terlihat berpindah dari satu meja ke meja yang lain. Kadang-kadang semua orang yang nongkrong di warung kopi disalaminya, termasuk orang yang belum kenal sekalipun.Ada juga kawan, entah hobi atau ingin terlihat hebat, suka pindah dari satu warung kopi ke warung kopi lain. Pagi hari bisa jadi dia minum kopi di Solong, tentunya dengan beberapa kali ganti posisi: di meja paling depan hingga di meja paling belakang. Siangnya mungkin dia bisa ditemui di Cut Nun atau di SMEA, sementara malamnya mungkin di Dhapu Kupi, atau di sejumlah warung kopi yang sudah menjamur di Kota Banda Aceh ini. Pokoknya ada banyak nama warung kopi yang mungkin tidak semuanya kita hafal, kecuali orang-orang yang candu kopi.
Entah karena sedang ngetrend atau ingin ikut trend, Bahkan beberapa teman penulis juga sudah mulai berpikir bergerak di bisnis warung kopi. Karena sudah terlalu banyak nama warung kopi di Banda Aceh, Salah seorang teman menjadi bingung memberi nama untuk warung kopinya. Semoga saja warungnya tidak bernama “Pungo Kupi”.Jumpueng.blogspot.comThe Aceh Institute


Posted by Ikhwanesia.com on 07.13. Filed under , , , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

Blog Archive

Labels